Sejak penguasaan oleh Belanda, Bali seolah dibuka lebar untuk kunjungan orang asing. Bali tidak saja kedatangan orang asing sebagai pelancong namun tak sedikit para pemerhati dan penekun budaya yang datang untuk mencatat keunikan seni budaya Bali. Dari para penekun budaya yang terdiri dari sastrawan, penulis, dan pelukis inilah keunikan Bali kian menyebar di dunia internasional. Penyampaian informasi melalui berbagai media oleh orang asing ternyata mampu menarik minat pelancong untuk mengunjungi Bali. Kekaguman akan tanah Bali lalu menggugah minat orang asing memberi gelar kepada Bali. The Island of Gods, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples, The Morning of the World, dan berbagai nama pujian lainnya.
Tahun 1930, di jantung kota Denpasar dibangun sebuah hotel untuk menampung kedatangan wisatawan ketika itu. Bali Hotel, sebuah bangunan bergaya arsitektur kolonial, menjadi tonggak sejarah kepariwisataan Bali yang hingga kini bangunan tersebut masih kokoh dalam langgam aslinya. Tidak hanya menerima kunjungan wisatawan, duta kesenian Bali dari Desa Peliatan melakukan kunjungan budaya ke beberapa negara di kawasan Eropa dan Amerika secara tidak langsung, kunjungan tersebut sekaligus memperkenalkan keberadaan Bali sebagai daerah tujuan wisata yang layak dikunjungi.
Kegiatan pariwisata, yang mulai mekar ketika itu, sempat terhenti akibat terjadinya Perang Dunia II antara tahun 1942-1945 yang kemudian disusul dengan perjuangan yang makin sengit merebut kemerdekaan Indonesia termasuk perjuangan yang terjadi di Bali hingga tahun 1949. Pertengahan dasawarsa 50-an pariwisata Bali mulai ditata kembali dan pada tahun 1963 dibangun Hotel Bali Beach (The Grand Bali Beach Hotel) di Pantai Sanur dengan bangunan berlantai sepuluh. Secara pasti, sejak dioperasikannya Hotel Bali Beach pada November 1966, pembangunan sarana hunian wisata berkembang dengan pesat. Dari sisi kualitas, Sanur berkembang relatif lebih terencana karena berdampingan dengan Bali Beach Hotel sedangkan kawanan Pantai Kuta berkemabang secara alamiah bergerak dari model hunian setempat. Model homestay dan pension berkembang lebih dominan dibanding model standar hotel. Sama halnya dengan Kuta, kawasan Ubud di daerah Gianyar berkembang secara alamiah, tumbuh di rumah-rumah penduduk yang tetap bertahan dengan nuans pedesaan.
Pembangunan sarana hunian wisata yang berkelas internasional akhirnya dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Developmnet Corporation, suatu badan bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan memenuhi kebutuhan pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk kawasan Nusa Dua sebagai investor yang pada akhirnya kawsan ini mampu mendongkrak perkembangan pariwisata Bali.
Mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, Pemerintah Daerah Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah hunian wisata berikut sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga kini, Bali telah memilki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari klas Pondok Wisata, Melati, hingga Bintang 5. Sarana hotel-hotel tersebut tampil dalam berbagai variasi bentuk mulai dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow, dan boutique hotel dengan variasi harga jual. Keberagaman ini memberi nilai lebih bagi Bali karena menawarkan banyak pilihan kepada para pelancong.
Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana penunjang seperti misalnya restoran, art shop, pasar seni, sarana hiburan, dan rekreasi tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Para pelancong yang berkunjung ke Bali, akhirnya memiliki banyak pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali, akhirnya organisasi kepariwisataan seperti PHRI (IHRA), ASITA, dan lembaga kepariwisataan lain di Bali, yang secara profesional mengelola dan memberi layanan jasa pariwisata, seakan memberi jaminan untuk kenyamanan berwisata di Bali.
Hampir semua industri memilih untuk mengidentifikasi produknya sebagai sesuatu yang eksotis dan spesifik. Sesuatu yang eksotis dan spesifik bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya. Ada suatu pengetahuan yang samar-samar yang telah diketahui oleh seorang wisatawan ketika akan berkunjung ke Daerah Tujuan Wisata.
Eksotisme yang ditawarkan pada intinya ingin menggiring orang ke dalam suatu penjelajahan, petualangan dan penemuan baru. Di dalam setiap perjalanan wisata selalu terselip pesan : sebuah petualangan untuk menemukan dunia baru. Oleh karena itulah, sebagaimana mestinya dalam dunia mode atau produk-produk konsumerisme lainnya, hal yang umum terjadi dalam dunia pariwisata yaitu bahwa seorang wisatawan sangat jarang untuk menjadi loyal terhadap satu objek wisata.
Mempersiapkan tenaga yang handal agar bisa memenuhi kepuasan wisatawan selama mereka menikmati kunjungannya di suatu Daerah Tujuan Wisata memerlukan waktu yang cukup lama desertai dengan usaha peningkatan kemampuan diri seorang tenaga dan praktisi pariwisata khususnya di bidang usaha jasa Biro Perjalanan Wisata tersebut secara sungguh-sungguh. Memberikan kepuasan kepada wisatawan dari berbagai negara yang juga berbeda latar belakang kehidupan dan budayanya adalah tugas yang sangat berat. Karena sebuah Biro Perjalanan Wisata harus aktif dan inovatif di daam memasarkan produk-produknya yang dikemas, bukan hanya dalam bidang perjalanan wisata atau tour saja, tetapi juga kebutuhan yang lainnya, seperti hotel, restoran, transportasi, baik darat maupun udara, tenaga Pemandu Wisata (Guide), Ticketing dan lain sebagainya. Sebuah Biro Perjalanan Wisata harus mengikuti aturan-aturan yang telah digariskan oleh organisasinya dan etika bisnis serta di lain pihak harus mengikuti aturan-aturan atau regulasi yang digariskan oleh pemerintah.